Berbagai peristiwa sejarah kolonialisme bangsa eropa yang terjadi si kota Suraaya telah meninggalkan jejak. Salah satunya yaitu banyaknya peninggalan bangunan-bangunan bersejarah yang kental akan nuansa arsitektural eropa didalamnya. Munculnya bangunan-bangunan berarsitektur eropa dimulai dari adanya kedatangan bangsa Eropa khususnya Belanda ke Surabaya. Kota Surabaya yang secara geografis terletak di pesisir sehingga menjadi salah satu alasan Belanda membangun pusat pemerintahan dan perdagangan di Surabaya untuk memudahkan melakukan kegiatan bongkar muat rempah-rempat dan hasil perkebunan dari Jawa dikirim menuju negara Belanda. Keadaan tersebut menyebakan banyaknya bangunan-bangunan yang dibangun sebagai pemukiman maupun sebagai gedung perkantoran saat itu yang dibangun dengan tatanan arsitektur yang mirip bahkan sama persis yang memiliki arsitektur yang khas akan kesan eropa atau dikenal dengan arsitektur kolonial.

Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari negeri induknya Eropa ke daerah koloni. Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda yang dikembangkan  di Indonesia, selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun 1942 (Samsudi, 2020). Arsitektur kolonial inilah merupakan gaya arsitektur yang dipengaruhi masa penjajahan Belanda. Salah satu negara bagian eropa yang menjadi salah satu negara yang berkembang di bidang arsitektur. Gaya arsitektur kolonial ini bisa dibilang memadukan budaya barat dan timur, dimana banyak mengadopsi aliran arsitektur yunani dan romawi kuno seperti pada arsitektur gaya Renaissance, The Dutch Indies, Neo Gotic. Terdapat 3 gaya arsitektur kolonial yang mempengaruhi arsitektur bangunan cagar budaya yang ada di Kota Surabaya, diantaranya sebagai berikut.

  1. Indische Empire Style
    • Muncul pada pertengahan abad ke-18 – akhir abad ke-19
    • Ciri:
      1. Proporsi dan simetris (menekankan proposi yang kuat dan simetri dalam denah bangunan).
      2. Terdapat central room di tengah ruangan dan teras yang sangat luas.
      3. Kolom dan ornamen (Dibagian ujung terdapat barisan kolom bergaya yunani (doric, ionic, dan corinthian)).
      4. Atap bangunan (atap datar atau perisai dengan penutup atap genting).
      5. Material bangunan (material yang digunakan adalah batu bata pada kolom dan dinding, pemakaian kayu pada konstruksi kuda-kuda, kusen, maupun pintunya)
  2. Kolonial Transisi
    • Munucl pada akhir abad 19 – awal abad ke-20 (1890-1915)
    • Ciri:
      1. Proporsi dan simetris (menekankan proporsi yang kuat dan simetri dalam denah bangunan).
      2. Sering menggabungkan konsep ruang terbuka seperti beranda, halaman dalam, atau taman sebagai bagian dari desain bangunan.
      3. Kolom dan ornamen (Kolom-kolom sudah memakai kayu dan beton, muncul gevel-gevel pada arsitektur belanda, adanya menara (tower) pada pintu masuk utama).
      4. Atap bangunan (Atap pelana dan periasi dengan penutup atap genting, dengan kemiringan besar antara 40 derajat – 60 derajat, pemakaian ventilasi pada atap (dormer)).
      5. Material bangunan (Penggunaan bata dan kayu, serta pemakaian kaca yang masih sangat terbatas)
  3. Kolonial Modern
    • Muncul pada abad 20 (1915-1940)
    • Ciri:
      1. Simplicity dan clean lines (cenderung mengedepankan kesederhanaan dan tampilan yang minimalis).
      2. Menggunakan elemen penahan sinar matahari
      3. Memperhatikan konsep ruang terbuka seperti teras/halaman dalam sebagai bagian dari desain bangunan.
      4. Kolom dan ornamen (Pemakaian gevel horizontal, dinding hanya berfungsi sebagai penutup, penggunaan kaca yang cukup lebar (terutama pada jendela)).
      5. Atap bangunan (atap datar dan pelana atau perisai, dengan penutup genting atau sirat).
      6. Material bangunan (bahan atap menggunakan beton, menggunakan besi cor, pemakaian bahan kaca dalam jumlah besar, dominan menggunakan cat warna putih).Adapun penjelasan mengenai penggolongan bangunan cagar budaya yang dimaksud, sebagai berikut.